Minggu, 03 April 2022

Lawan Stigma Serta Diskriminasi Kusta Dan Sown Syndrom

 

Pernah lihat seseorang dengan kusta atau down syndrome? Apa yang ada dipikirian kita ketika melihat mereka? Masih banyak loh yang underestimate dan menganggap kalau orang dengan disabilitas itu aneh. Banyak yang akhirnya menjauhi karena memang stigma dan diskriminasi itu masih terjadi. 

Mengenal Kusta

Padahal, anak dengan down syndorme itu bisa hidup setara dengan orang-orang normal lainnya. Begitu juga dengan penderita kusta. Kusta bukan penyakit kutukan seperti stigma yang beredar, yang pada akhirnya mereka malah mendapatkan diskriminasi. 

Minggu lalu, saya mengkiuti diskusi Ruang Publik KBR bersama NLR Indonesia yang mengangkat tema 'Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara'. Saya mengikuti diskusi ini lewat channel YouTube Berita KBR. Dalam diskusi ini, narasumber yang hadir diantaranya:

  • dr. Oom Komariah, M.Kes selaku Ketua Pelaksana Hari Down Syndrome Dunia (HDSD), Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome (POTADS)
  • Uswatun Khasanah, Penyintas Kusta
Ruang Publik KBR


Dalam diskusi yang berlangsung selama kurang lebih 60 menit, narasumber yang hadir berbagi kisah dan pengalamannya. Buat yang menyimak seperti saya, diskusi ini seakan membuka pikiran lebih terbuka. Bahwasannya, baik kusta maupun down syndrome bukanlah sebuah aib, apalagi kutukan. Ada hal positif yang kalau kita kenal lebih dekat, maka stigma itu rasanya perlu dihilangkan. 

Mengenal Kusta  

Kusta merupakan penyakit menular yang menyerang kulit. Jika segara ditangani, maka penderita kusta bisa sembuh dan tidak mengalami kecacatan. Namun, jika terlambat untuk diobati, kusta bisa menyerang saraf yang bisa mengakibatkan hilangnya sensasi rasa (mati rasa), termasuk rasa sakit. Hal itu yang menyebabkan luka atau cedera yang dialami penderita kusat jadi ngga berasa. Buruknya, si penderita bisa mengalami gejala hilangnya jari tangan dan kaki. 

Apa aja gejala kusta yang perlu diwaspadai? berikut gejala-gejala kusta yang mungkin bisa jadi awareness buat kita semua. 

  • Muncul becak putih, berwarna lebih terang, dan menebal di kulit
  • Muncul luka tapi tidak terasa sakit 
  • Mati rasa di kulit, termasuk kehilangan kemampuan merasakan sentuhan, tekanan, suhu, dan rasa sakit
  • Otot melemah, terutama otot tangan dan kaki 
  • Pembesaran saraf yang biasanya terjadi di siku dan lutut
  • Mata menjadi kering dan jadi jarang mengedip
  • Kehilangan alisa dan bulu mata
  • Hidung tersumbat, mimisan, atau kehilangan tulang hidung 
Menurut Uswatun Khasanah, ia mulai merasakan gejala kusta pada usia sekitar 14 tahun. Ia sempat minder dan ngga percaya diri ketika divonis menderita kusta. Stigma di masyarakat, orang dengan kusta harus dijauhi, akibatnya banyak penderita kusta malah jadi depresi dan ngga semangat buat sembuh.

Berbeda dengan Uswatun, ia memiliki tekad buat sembuh. Jadi, ia rutin minum obat, mengikuti saran dokter, dan mulai mengatur pola hidup sehat. Relawan NLR ini berusaha untuk positif dan rutin menjalani pengobatan hingga 1 tahun. Bukan waktu yang sebentar ya, minum obat rutin selama 1 tahun. Tapi karena semangat sembuh, akhirnya jerih payahnya membuahkan hasil.

Kusta sendiri terbagi menjadi 2, ada kusta kering dan kusta basah. Kasus yang dialami Uswatun adalah kusta basah. Walau sama-sama berasal dari Mycobacterium Leprae, antara kusta basah dan kering memiliki perbedaan.

Kusta kering pengobatannya 6 bulan, bercak kurang dari 5 bercaknya seperti bercak putih seperti panu tapi bercak kemerahannya, mati rasa. kerusakan hanya pada saraf di satu tempat. Sedangkan, Kusta basah, bercaknya lebih dari 5, bercaknya putih kemerahan, penebalan dan pembengkakan pada bercaknya, kerusakan banyak pada saraf tepi. 

Kusta memang penyakit menular, tapi kalau ditangani dengan segara dan rutin minum obat, maka kusta bisa disembuhkan. Stigma yang beredar di masyarakat memang perlu diluruskan. Masih perlu edukasi yang menyeluruh, agar stigma itu perlahan hilang dari masyarakat. 

"Kita (penderita kusta) harus sembuh. Untuk sembuh harus disiplin minum obat, mendengarkan saran dari dokter. Kita harus jaga pola hidup. Terus berpikir positif bahwa penyakit ini bisa sembuh" Uswatun Khasanah 

Bersahabat Dengan Down Syndrome 

Satu lagi yang sering menjadi stigma adalah down syndrome. Rasanya tidak ada orangtua yang ingin diangugerahi anak disabilitas. Semua harapan orangtua maunya punya anak yang sempurna, tidak kurang satupun. Buat yang belum mengalami memiliki anak dengan keistimewaan seperti down syndrome, rasanya pasti akan mudah saja bilang 'terima takdir saja". Tapi, ketika ada di posisi orangtua dengan anak down syndrome, rasa marah dan benci pasti akan ada. 

ciri-ciri down syndrome
Anak dengan Down Syndrome (sumber : halosehat)

Kenapa bayi yang lahir bisa didiagnosis mengalami down syndrome? Secara umum, down syndrome sudah bisa dilihat dari wajah saja. Biasanya, penderita down syndrome memiliki wajah yang sama. Selain bisa dilihat dari wajah, ciri-ciri down syndrome diantaranya:

  • Kepala berukuran kecil 
  • Wajah dan hidung datar 
  • Leher pendek dengan kulit berlebih di bagian belakang 
  • Kondisi tonus otot buruk, atau tidak berfungsi dengan baik 
  • Ukuran kepala, telinga, dan mulut kecil 
  • Mata miring ke atas, disertai denga lipata kulit yang keluar dari kelopak mata atas dan menutupi sudut mata bagian dalam (fisura palpebral)
  • Tangan lebar dengan jari-jari yang pendek
  • Ukuran tangan dan kaki kecil 
  • Ada bagian lekukan dalam pada jari kaki pertama dan jari kedua
Anak dengan down syndrome biasanya akan memiliki penyakit-penyakit yang menyertainya. Ada yang bermasalah dengan jantung, pencernaan atau mata. Mereka juga akan mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan. Walau begitu, anak dengan down syndrome bila mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungannya, maka ia bisa tumbuh jadi anak yang mandiri dan berprestasi layaknya anak normal. 

Stigma yang masih saja beredar di masyarakat, jika sesorang memiliki anak dengan down syndrome maka akan dikaitkan dengan kutukan, hal tidak baik yang mungkin pernah dilakukan, dan aib. Memiliki anak dengan down syndrome sudah jadi beban yang mungkin berat, ditambah dengan stigma masyarakat yang malah membuat para orangtua dengan anak down syndrome jadi tambah down. 

Dr. Oom Komariah yang ditakdirkan memiliki anak down syndrome pun awalnya marah. Saat itu, ketika anak down syndromenya baru saja lahir, ada rasa ingin mengakhiri semuanya. Saat menyusui, Oom sempat menutup hidung dan mulut si bayi. Rasa yang berkecamuk seperti takut berhadapan dengan orangtua dan lingkungan, membuatnya seketika gelap mata. Beruntung, ia buru-buru sadar dan akhirnya perlahan menerima takdir Allah, memiliki anak dengan down syndrome. 

Hentikan Stigma dan Diskriminasi

Orangtua 'terpilih' yang diamanahi anak dengan down syndrome, sangat perlu support dari lingkungan, terutama keluarga. Mereka akan kuat ketika mendapatkan banyak dukungan. Yang pada akhirnya, mereka mau berlapang dada menerima takdir. 

Begitu juga dengan penderita kusta. Mereka sangat perlu support yang akan menjadikan mereka mau bertahan. Mau berobat dan memiliki keinginan kuat untuk sembuh. 

Kusta dan down syndrome bukan aib, apalagi kutukan. Hanya saja perlu penanganan yang insentif dan penuh semangat untuk bisa melaluinya. Sudah banyak info dan edukasi yang tersebar di jagat maya seputar kusta dan down syndrome. Jadi kita bisa mencari tahu dan mulai meningkatkan awareness. 

Penderita kusta dan down syndrome, bisa hidup normal layaknya kita yang normal. Mereka perlu dukungan dan semangat, bukan stigma yang malah akan menghilangkan semangat mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...