Skip to main content

Menelusuri Sejarah Goa Selomangleng, Tempat Pertapaan Dewi Kilisuci

Mempelajari sejarah sebenarnya bukan satu hal yang sulit. Hanya saja, ada orang yang pusing duluan dengan kisah yang ada. Karena, kita pasti akan dibawa kembali ke puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Tokoh yang terlihat di dalam sejarah, yang mungkin nama-namnya tidak familiar dan cenderung sulit dihapal. Belum lagi silsilah dari tokoh dari sejarah tersebut. Tapi, itu yang membuat kita menyadari, bahwa sebelum moderenisasi muncul, ada sejarah panjang di belakangnya.

Ketika saya mengunjungi Kediri, salah satu teman saya yang freak banget dengan sejarah, mengajak kami untuk mengunjungi Museum Airlangga. Untuk masuk ke kawasan ini, perlu membayar tiket masuk (kalau tidak salah) Rp. 5.000. Ketika kami sampai, ternyata mueseumnya tutup. Lalu, ada segerombolan orang-orang berpakaian khas Bali. Yang laki-laki memakai udeng dan sarung yang dililitkan di pinggang. Yang perempuan, memakai kebaya. Pakaian khas masyarakat Bali yang dipakai ketika hendak ibadah. Ternyata memang sedang ada acara umat Hindu di area itu. 

Ada Goa besar di samping museum Airlangga. Di depannya, sedang duduk banyak sekali anak sekolah. Mereka mendengarkan seorang bapak yang sedang bercerita. Mengkisahkan sejarah yang terjadi di area Goa. Saya Dan teman hanya bisa menunggu di anak tangga. Saya sempat mendengar lantunan syair yang mungkin didalamnya berisi doa umat Hindu. Kalau di Islam, seperti shalawat. Karena terlalu lama kami menunggu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi esok harinya. 

Menjejaki Pertapaan Dewi Kilisuci 

Untuk sampai ke Goa Selomangleng, kita harus melewati anak tangga. Tidak banyak dan cukup landai. Semilir angin yang menyapu pepohonan, menghasilkan oksigen yang segar untuk dihirup. Cukup untuk membuat kami tidak terlampau lelah dan berkeringat. Lokasi Goa memang berada di kaki gunung Klotok. Jadi, wajar udaranya jauh lebih sejuk.

Jangan bayangan Goa menyerupai lorong yang terbentuk di perut gunung. Bukan. Goa Selomangleng dibentuk dari bongkahan batu raksasa. Dipahat dengan alat yang mungkin seadaanya. 

Goa Selomangleng, melupakan Goa Pertapaan lintas masa yang dibangun pada permulaan kerajaan Kediri (abad XI Masehi), Singhasari (XIII Masehi), dan Majapahit (XV Masehi). Goa ini digunakan sebagai Goa Pertapaan dan dipercaya sebagai tempat bersemayam para dewa.

Untuk bisa masuk ke dalam Goa, kita perlu mendaki jalan berbatu. Cukup sulit karena lebih seperti memanjat batu besar. Disarankan untuk memakai sepatu atau sandal gunung, agar tidak terpleset. Perlu mencari medan yang lebih mudah dilalui. 

Saat tiba di depan Goa, sisa aroma dupa masih bisa saya rasakan. Ada sisa-sisa dupa yang berserak juga di area Goa. Rasanya, Goa ini masih digunakan umat Hindu untuk berdoa. Angin dingin dari dalam Goa tiba-tiba menyapu wajah. Ada perasaan yang sedikit membuat merinding. Dalam Islam, gunung, hutan, dan laut adalah tempat, dimana mahkluk lain yang Allah ciptakan itu tinggal. Mahkluk yang sejatinya hidup berdampingan dengan kita, manusia. 

Saya dan teman hanya masuk ke satu ruang terdepan. Dinding Goa dipenuhi dengan pahatan bermotif. Setiap pahatan memiliki makna yang tidak semua orang paham. Goa Selomangleng memiliki 4 ruang yang terbagi di beberapa sisi.

Ruang pertama terletak di bagian paling utara. Di atas pintu masuk terdapat pahatan kepala kala berahang bawah. Di ruang ini saya juga melihat ada tempat duduk yang dipahat dari batu. Ruangannya dingin. Ada perasaan kurang nyaman juga ketika masuk ke dalamnya. Walaupun, tidak benar-benar masuk ke ruangan. Di bagian kanan dan kiri pintu masuk, terdapat sepasang medallion bermotif flora. Dalam ruangan ini juga terdapat padmasana, lapik arca dewata bermotif bunga teratai. Lalu, ada Dua sandaran arca yang dipahat di dinding sisi utara, dilengkapi tempat untuk menaruh alat penerang minyak. 

Dalam ruang kedua, terdapat relief tokoh Garudeya yang sedang bertarung dengan seekor naga. Di sisi Barat terdapat bangunan persegi panjang membujur dari utara ke selatan yang menyerupai "tempat duduk bale-bale". Di bagian atasnya, terdapat pahatan aksara Jawa kuno yang bergaya kwadrat. Lalu, di ruang ketiga ada pahatan landscape sekitar gunung kloktok. Terdapat area penguburan terbuka atau ksetra (open burial) yang digambarkan berupa tanah melereng dengan bongkah battu dengan rambut tergerai. Relief lainnya, berupa areal perairan, binatang menyerupai ular berenang, dua kepala mirip buaya, air terjun, aktivitas orang seperti meramu bahan makanan dan berburu binatang. Ada juga relief yang menggambarkan seorang tokoh pertapa dalam posisi bersila di atas padmasana, mengenakan jubah dan tanpa mahkota, berambut keriting. Pertapa itu adalah Dhyani Buddha Amitabha.

Ruang keempat terletak di bagian selatan, dilengkapi dengan tangga dan pipi tangga. Posisi lantai dibuat lebih tingi dan hanya terdapat satu relief yaitu Dhyani Buddha Wairocana. Relief ini dipahatkan di dinding sisi selatan. Wairocana ini dikenal sebagai Buddha Dharmakaya dan Buddha Matahari. 

Sejarah, Bukti Panjang Kehidupan

Kalau ngga ada peninggalan sejarah yang usianya beratus-ratus tahun, kita ngga akan tahu kalau begitu panjang kehidupan yang sudah dilalui. Sebelum era modern, ada era di mana orang-orang yang bergantung pada kemurahan alam. Hanya bisa mengandalkan sekitar untuk tetap bisa hidup. 

Bayangkan kalau ngga ada peninggalan sejarah, bagaimana kita bisa tahu bagaimana kehidupan orang-orang yang hidup ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Alhamdulillah, masih ada mereka yang peduli, hingga peninggalan sejarah bisa dirawat dengan baik. Dari situ, kita belajar tentang kehidupan yang ternyata sudah berlangsung sangat panjang. 

Belajar sejarah, ngga melulu membosankan. Kalau belajar sejarahnya, bisa sambil traveling, seru deh.

 





Comments

Most Wanted